Sekelumit hikmah pada Pelantikan Pengurus FIKRI


Add caption


Bismillahirrahmaanirrahiim
Pagi itu terasa tenang. Udara sejuk yang bercampur dengan embun masih berhembus menembus kulit meski waktu telah muenunjukkan pukul 06.00 pagi. Awan kelabu  menutupi sinar matahari pagi. Suasana kampus masih sangat lengang dari aktifitas para penghuni kampus, mahasiswa, dosen pegawai kampus, bang Peri : petugas parkir di kampus kami yang sangat bertanggung jawab dan supel, ibu-ibu kantin dan lain sebagainya. Wajar saja, hari itu adalah hari ahad, tepatnya tanggal 18 September 2011.
Meski tampak lengang, namun sebenarnya kampus kami, FMIPA Untan, sangat jarang sepi akan aktifitas didalamnya. Baik praktikum, kegiatan-kegiatan mahasiswa maupun hanya sekedar berolahraga santai bersama teman-teman, membuat kampus Mipa selalu terlihat ramai. Apalagi saat ini telah mulai berjalan program Reguler B di MIPA, yang memiliki jadwal kuliah dari pukul 15.30 hingga 20.30 membuat kampus kami tetap “hidup” meski di malam hari. Semakin ramai saja kampus ini.
Ahad yang tenang. Setibanya ana di musholla kebanggaan, Al-Fikr, terlihat beberapa mahasiswa sibuk dengan aktifitas masing-masing. Mereka adalah para pengurus FIKRI, LDF kami tercinta. Terlihat semangat dan keceriaan dari wajah-wajah mereka yang lembut dan teduh. Tangan – tangan mereka cekatan mengangkat perlengkapan-perlengkapan untuk kegiatan yang akan dilakukan pada hari itu. Pasalnya, ahad itu akan diadakan Pelantikan sekaligus Rapat kerja para pengurus FIKRI periode 2011-2012. Tidak lama berselang, satu persatu para pengurus yang lain mulai berdatangan dan membantu mempersiapkan perlengkapan. Mengatur sound sistem, infokus, ruangan dan lain sebagainya. Hembusan angin sejuk tak membekukan semangat mereka. Sesekali terdengar tawa canda mereka, membuat semakin ramai pagi itu.
Tepat pukul 08.30, kegiatan pun mulai dilakukan. Pada hakikatnya, acara pelantikan tersebut akan dihadiri oleh dekan FMIPA  ataupun pembantu dekan III, namun pada saat yang bersamaan, beliau harus pergi ke luar kota sehingga tidak dapat hadir, begitu pula dengan pembantu dekan III FMIPA. Namun hal itu tidak mengurangi semangat kami. Dengan izin  Allah, pak Azrul Azwar, S.Si, M.Si dapat hadir ditengah-tengah kami untuk memberikan taujih dan nasihat serta melantik kami, para pengurus FIKRI. Hadir pula para senior kami, alumni pengurus FIKRI maupun dewan penasihat FIKRI.
Awan masih memayungi bumi dari teriknya sinar mentari pagi,namun semangat mengalahkan teriknya mentari. Udara sejuk menyambut kami ketika seluruh pengurus diminta untuk keluar ruangan pada saat akan pelantikan dan pembacaan ikrar. Sejuknya udara pagi menambah teduh wajah para pejuang Allah yang satu persatu mulai keluar ruangan. Berada di bawah tatanan alam yang maha luar biasa, ciptaan-Nya. Terasa betapa kecilnya manusia di hadapan-Nya.
“Asyahadu alla ilaaha illallah, wa asyhadu anna muhammadarrosulullah,....”
Terasa bergetar ketika lidah ini melafadzkan syahadat. Entah mengapa terasa berbeda, padahal setiap harinya berulang kali dilafadzkan ketika sholat.
“Dengan selalu mengharap ridho dan rahmat Allah SWT,...”. perlahan kami mengikuti kalimat-kalimat yang dibacakan oleh Pak Azrul yang memimpin pembacaan ikrar. Setiap kata dan kalimat terucap terasa begitu meresap ke dalam jiwa. Semakin terasa betapa lemahnya manusia tanpa pertolongan-Nya. Di akhir pembacaan ikrar, pak Azrul berkenan untuk memimpin doa. Kekhusyukan dan hening menyelimuti. Unataian doa yang terucap seakan dibawa angin menuju sang Pengabul doa. Betapa sangat berharap agar Allah semakin menguatkan ukhuwah diantara para pejuang dakwah sebagai bekal kekuatanya. Betapa sangat berharap agar semakin dikokohkan kaki dan genggaman sesama kami dan pundak kami dalam menjalankan  tugas para nabi dan rasul ini. Sangat berharap pertemuan dengan-Nya berkumpul bersama kembali di syurga-Nya.
Malaikat, awan, matahari, rerumputan, burung-burung, bumi dan seisi alam menjadi saksi atas permohonan kepada Allah Azza Wa Jalla, Maalik Al-Yaumiddin.

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (An-Nahl : 125)


Salam Ukhuwah untuk saudara-saudara ana
Yang luar biasa, para Pengurus FIKRI
Dan Para pejuang Dakwah Kampus MIPA
Allahu akbar,.. Allahu akbar,... Allahu akbar!!!

Arif Rahman (Math_08)
Ketua Umum FIKRI
READ MORE - Sekelumit hikmah pada Pelantikan Pengurus FIKRI

ILMU YANG BERMANFAAT


ILMU YANG BERMANFA’AT
Ilmu yang bermanfaat secara mutlak di dunia dan akhirat  adalah ilmu syar’i. ilmu yang ahlinya dipuji oleh Allah dan Rasul shollallahu ‘alaihi wa sallama, ilmu ini adalah seperti yang diungkapkan oleh Imam Asy-Syatiby di dalam kitab Al Muwafaqot, “Ilmu yang mu’tabar menurut syara’ adalah ilmu yang mendorong pemiliknya untuk beramal, yang tidak membiarkan pemiliknya berlari mengikuti hawa nafsunya bagaimanapun ia, bahkan ia mengikat pengikutnya dengan muqtadhonya, yang membawa pemiliknya mematuhi aturan-aturannya suka atau tidak suka”.
Di dalam mukadimah ke tujuh dari kitabnya tersebut ia menegaskan, “Sesungguhnya setiap ilmu yang tidak membuat pemiliknya beramal maka di dalam syara’ tidak ada dalil dalam syara’ yang menganggapnya baik”.

Oleh karena itu ulama sejati adalah yang mengamalkan ilmunya dan tampak pada dirinya sifat takut kepada Allah Ta’ala.
{إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاء}
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (Fathir : 28)
Ilmu tidak akan bermanfaat tanpa disertai pengamalan. Allah Ta’ala berfirman menegur orang-orang yang tidak mengerjakan apa yang ia katakan atau ajarkan,
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ * كَبُرَ مَقْتًا عِندَ اللَّهِ أَن تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ}
“Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan”.(Ash Shof : 2-3)
Allah Ta’ala juga mengingkari perbuatan orang-orang Ahli Kitab yang tidak mengamalkan kebaikan yang mereka perintahkan kepada manusia,
{أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنسَوْنَ أَنفُسَكُمْ وَأَنتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلاَ تَعْقِلُونَ}
“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?”. (Al Baqoroh : 44)
Dan di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari sahabat Usamah bin Zaid rodhiyallahu ‘anhu ia berkata,
يؤتى بالرجل يوم القيامة فيلقى فى النار فتنتدلق اقتاب بطنه فيدور بها كما يدور الحمار فى الرحى، فيجتمع إليه أهل النار، فيقولون: يافلان، مالك؟ ألم تكن تأمر بالمعروف وتنهى عن المنكر؟ فيقول بلى، كنت أمر بالمعروف ولا آتيه وأنهى عن المنكر وأتيه”
“Aku mendengar Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama bersabda, “Di hari kiamat didatangkan seseorang lalu dicampakkan ke dalam neraka maka terburailah usus-ususnya, dia berputar-putar dengan ususnya seperti seekor keledai berputar-putar pada ikatannya. Maka penghuni neraka mengerumuninya, mereka berkata, ‘Hai fulan,  ada apa denganmu? Bukankah dulu engkau mengajak kepada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran?’ ia menjawab, ‘Benar, aku mengajak kepada kebaikan tetapi aku tidak mengerjakan dan aku melarang dari kemungkaran tetapi aku melakukannya”. (HR. Bukhari : 6/238 dan Muslim : 2989)
Oleh karena itu Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallama berdo’a kepada Allah memohon perlindungan dari ilmu yang tidak bermanfaat,
“اللهم أنى أعوذ بك من علم لا ينفع ومن قلب لا يخشع، ومن نفس لا تشبع ، ومن دعاء لا يسمع”
‘Ya Allah sesungguhnya aku berlindung kepadaMu dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak khusyu’, dari nafsu yang tidak puas, dan dari do’a yang tidak didengar”. (HR. Muslim : 1295, At-Tirmidzi dan An Nasai (8/263) dari hadits Zaid bin Arqom)
Sahabat Abu Darda’ rodhiyallahu ‘anhu berkata, “Yang aku takuti di hari kiamat adalah ketika dikatakan kepadaku, ‘Apakah engkau mengetahui atau tidak? Aku menjawab, ‘Aku mengetahui’. Maka tidak ada satupun ayat dari Kitabullah yang memerintahkan atau melarang melainkan mendatangiku menanyakan perintah dan larangannya. Ayat yang memerintahkan bertanya apakah engkau kerjakan? Dan ayat yang melarang bertanya apakah engkau tinggalkan? Maka Aku berlindung kepada Allah dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak khusyu’, dari nafsu yang tidak puas, dan dari do’a yang tidak didengar”. (diriwayatkan oleh Al Baihaqy, Ad Darimy dan Ibnu Abdil Barr dari beberapa jalan dari Abu Darda’).
Ya Allah .. berapa banyak orang yang mengingatkan manusia kepada Allah sementara dia sendiri lupa kepadaNya. Berapa banyak orang yang menakut-nakuti manusia dengan Allah ternyata dia lancing dan berani menentang Allah. Berapa banyak orang yang mengajak manusia mendekatkan diri kepada Allah, dia malah jauh dari Allah. Berapa banyak orang yang menyeru mengajak manusia kepada Allah sedangkan dia sendiri malah lari dari Allah dan berapa banyak orang yang membaca Kitabullah lalu dia melepaskan dirinya dari ayat-ayat Allah …
Sungguh, jika ilmu tidak memotivasi pemiliknya untuk menjalankan ibadah kepada Allah Jalla wa ‘Ala maka tidak ada nilainya. Jika ilmu tidak membuat pemiliknya dekat kepada Allah tidak ada gunanya. Dan jika ilmu tidak mewariskan kepada pemiiknya al khosy-yah (takut) kepada Allah tidak ada kebaikan padanya.
Jadi ilmu yang mu’tabar secara syar’I itu adalah  ilmu yang mendorong pemiliknya untuk beramal dengan segala perkara yang dapat mendekatkan dia kepada Allah ‘Azza wa Jalla, menjalankan perintah Allah dan menjauhi laranganNya, berhenti dibatasan yang ditetapkan Allah.
Semoga Allah Ta’ala menganugerahkan kepada kita ilmu yang bermanfaat serta menjauhkan dari ilmu yang tidak bermanfaat .. amin.
READ MORE - ILMU YANG BERMANFAAT

LIHATLAH, SIAPA TEMANMU…!


“Ketahuilah, bahwasannya tidak dibenarkan seseorang mengambil setiap orang jadi sahabatnya, tetapi dia harus mampu memilih kriteria-kriteria orang yang dijadikannya teman, baik dari segi sifat-sifatnya, perangai-perangainya atau lainnya yang bisa menimbulkan gairah berteman sesuai pula dengan manfaat yang bisa diperoleh dari persahabatan tersebut itu. Ada manusia yang berteman karena tendensi dunia, seperti karena harta, kedudukan atau sekedar senang melihat- lihat dan bisa ngobrol saja, tetapi itu bukan tujuan kita.

“Apabila engkau berada di tengah-tengah suatu kaum maka pililhlah orang-orang yang balk sebagai sahabat, dan janganlah engkau bersahabat dengan orang-orang jahat sehingga engkau akan binasa bersamanya”
Wanita adalah bagian dari kehidupan manusia, sehingga dia tak akan pernah lepas dari pola interaksi dengan sesama. Terlebih dominasi perasaan yang melekat pada dirinya, membuat dia butuh teman tempat mengadu, tempat bertukar pikiran dan bermusyawarah. Berbagai problem hidup yang dialami menjadikan dia berfikir bahwa, meminta pendapat, saran dan nasehat teman adalah suatu hal yang perlu. Maka teman sangat vital bagi kehidupannya, siapa sih yang tidak butuh teman dalam hidup ini..?.
Namun wanita muslimah adalah wanita yang dipupuk dengan keimanan dan dididik dengan pola interaksi Islami. Maka pandangan Islam dalam memilih teman adalah barometernya, karena dirinya sadar, teman yang baik (shalihah) memiliki pengaruh besar dalam menjaga keistiqomahan agamanya. Selain itu teman shalihah adalah sebenar-benar teman yang akan membawa mashlahat dan manfaat. Maka dalam pergaulannya dia akan memilih teman yang baik dan shalihah, yang benar-benar memberikan kecintaan yang tulus, selalu memberi nasihat, tidak curang dan menunjukan kebaikan. Karena bergaul dengan wanita-wanita shalihah dan menjadikannya sebagai teman selalu mendatangkan manfaat dan pahala yang besar, juga akan membuka hati untuk menerima kebenaran. maka kebanyakan teman akan jadi teladan bagi temannya yang lain dalam akhlak dan tingkah lake. Seperti ungkapan “Janganlah kau tanyakan seseorang pada orangnya, tapi tanyakan pada temannya. karena setiap orang mengikuti temannya”.
Bertolak dari sinilah maka wanita muslimah senantiasa dituntut untuk dapat memilih teman, juga lingkungan pergaulan yang tak akan menambah dirinya melainkan ketakwaan dan keluhuran jiwa. Sesungguhnya Rasulullah juga telah menganjurkan untuk memilih teman yang baik (shalihah) dan berhati-hati dari teman yang jelek.
Hal ini telah dimisalkan oleh Rasulullah melalui ungkapannya:
“Sesungguhnya perumpamaan teman yang baik (shalihah) dan teman yang jahat adalah seperti pembawa minyak wangi dan peniup api pandai besi. Pembawa minyak wangi mungkin akan mencipratkan minyak wanginya itu atau engkau menibeli darinya atau engkau hanya akan mencium aroma harmznya itu. Sedangkan peniup api tukang besi mungkin akan membakar bajumu atau engkau akan mencium darinya bau yang tidak sedap”.
(Riwayat Bukhari, kitab Buyuu’, Fathul Bari 4/323 dan Muslim kitab Albir 4/2026)1
Dari petunjuk agamanya, wanita muslimah akan mengetahui bahwa teman itu ada dua macam. Pertama, teman yang shalihah, dia laksana pembawa minyak wangi yang menyebarkan aroma harum dan wewangian. Kedua teman yang jelek laksana peniup api pandai besi, orang yang disisinya akan terkena asap, percikan api atau sesak nafas, karena bau yang tak enak.
Maka alangkah bagusnya nasehat Bakr bin Abdullah Abu Zaid, ketika baliau berkata,” Hati- ¬hatilah dari teman yang jelek …!, karena sesungguhnya tabiat itu suka meniru, dan manusia seperti serombongan burung yang mereka diberi naluri untuk meniru dengan yang lainnya. Maka hati-hatilah bergaul dengan orang yang seperti itu, karena dia akan celaka, hati- hatilah karena usaha preventif lebih mudah dari pada mengobati “.
Maka pandai-pandailah dalam memilih teman, carilah orang yang bisa membantumu untuk mencapai apa yang engkau cari . Dan bisa mendekatkan diri pada Rabbmu, bisa memberikan saran dan petunjuk untuk mencapai tujuan muliamu.
Maka perhatikanlah dengan detail teman-¬temanmu itu, karena teman ada bermacam-macam
• ada teman yang bisa memberikan manfaat
• ada teman yang bisa memberikan kesenangan (kelezatan)
• dan ada yang bisa memberikan keutamaan.
Adapun dua jenis yang pertama itu rapuh dan mudah terputus karena terputus sebab-sebabnya. Adapun jenis ketiga, maka itulah yang dimaksud persahabatan sejati. Adanya interaksi timbal balik karena kokohnya keutamaan masing-masing keduanya. Namun jenis ini pula yang sulit dicari. (Hilyah Tholabul ‘ilmi, Bakr Abdullah Abu Zaid halarnan 47-48)
Memang tidak akan pernah lepas dari benak hati wanita muslimah yang benar-benar sadar pada saat memilih teman, bahwa manusia itu seperti barang tambang, ada kualitasnya bagus dan ada yang jelek. Demikian halnya manusia, seperti dijelaskan Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam :
” Manusia itu adalah barang tambang seperti emas dan perak, yang paling baik diantara mereka pada zaman jahiliyyah adalah yang paling baik pada zaman Islam jika mereka mengerti. Dan ruh- ruh itu seperti pasukan tentara yang dikerahkan, yang saling kenal akan akrab dan yang tidak dikenal akan dijauhi ” (Riwayat Muslim)
Wanita muslimah yang jujur hanya akan sejalan dengan wanita-wanita shalihah, bertakwa dan berakhlak mulia, sehingga tidak dengan setiap orang dan sembarang orang dia berteman, tetapi dia memilih dan melihat siapa temannya. Walaupun memang, jika kita mencari atau memilih teman yang benar-benar bersih sama sekali dari aib, tentu kita tidak akan mendapatkannya. Namun, seandainya kebaikannya itu lebih banyak daripada sifat jeleknya, itu sudah mencukupi.
Maka Syaikh Ahmad bin ‘Abdurrahman bin Qudamah al-Maqdisi atau terkenal dengan nama Ibnu Qudamah AlMaqdisi memberikan nasehatnya juga dalam memilih teman: “Ketahuilah, bahwasannya tidak dibenarkan seseorang mengambil setiap orang jadi sahabatnya, tetapi dia harus mampu memilih kriteria¬-kriteria orang yang dijadikannya teman, baik dari segi sifat- sifatnya, perangai-perangainya atau lainnya yang bisa menimbulkan gairah berteman sesuai pula dengan manfaat yang bisa diperoleh dari persahabatan tersebut itu. Ada manusia yang berteman karena tendensi dunia, seperti karena harta, kedudukan atau sekedar senang melihat-lihat dan bisa ngobrol saja, tetapi itu bukan tujuan kita.
Ada pula orang yang berteman karena kepentingan Dien (agama), dalarn hal inipun ada yang karena ingin mengambil faidah dari ilmu dan amalnya, karena kemuliaannya atau karena mengharap pertolongan dalam berbagai kepentingannya. Tapi, kesimpulan dari semua itu orang yang diharapkan jadi teman hendaklah memenuhi lima kriteria berikut; Dia cerdas (berakal), berakhlak baik, tidak fasiq, bukan ahli bid’ah dan tidak rakus dunia. Mengapa harus demikian ?, karena kecerdasan adalah sebagai modal utama, tak ada kabaikan jika berteman dengan orang dungu, karena terkadang ia ingin menolongmu tapi malah mencelakakanmu. Adapun orang yang berakhlak baik, itu harus. Karena terkadang orang yang cerdaspun kalau sedang marah atau dikuasai emosi, dia akan menuruti hawa nafsunya. Maka tak baik pula berteman dengan orang cerdas tetapi tidak berahlak. Sedangkan orang fasiq, dia tidak punya rasa takut kepada Allah. Dan barang siapa tidak takut pada Allah, maka kamu tidak akan aman dari tipu daya dan kedengkiannya, Dia juga tidak dapat dipercaya. Kalau ahli bid’ah jika kita bergaul dengannya dikhawatirkan kita akan terpengaruh dengan jeleknya kebid’ahannya itu. (Mukhtasor Minhajul Qasidin, Ibnu Qudamah hal 99).
Maka wanita muslimah yang benar-benar sadar dan mendapat pancaran sinar agama, tidak akan merasa terhina akibat bergaul dengan wanita-wanita shalihah meskipun secara lahiriyah, status sosial clan tingkat materinya tidak setingkat. Yang menjadi patokan adalah substansi kepribadiannya dan bukan penampilan dan kekayaan atau lainnya. “Pergaulan anda dengan orang mulia menjadikan anda termasuk golongan mereka, karenanya janganlah engkau mau bersahabat dengan selain mereka”.
Oleh karena itu datang petunjuk Al Qur’an yang menyerukan hal itu :
“Dan bersabarlah kamu bersama dengan orang¬-orang yang menyeru Rabbnya dipagi dan disenja hari dengan mengharap keridhoan-Nya. Dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka karena mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini. Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas”
(Al-Kahfi:28)

Footnote:
1.Al Bid’ah, Dr. Ali bin M. Nashir
Maraji :
• Hilyah tolabul ‘ilmi, Bakr Abdullah Abu Zaed
• Mukhtasor Minhajul Qasidin, Ibnu Qudamah
• Bid’ah dhowabituha wa atsaruhas Sayyisil Ummah,
Dr. Ali Muhammad Nashir AlFaqih
• Sahsiyah Mar’ah, Dr M.Ali Al Hasyimi

Dikutip dari Buletin Dakwah Al-Atsari, Cileungsi Edisi X Sha’ban 1419
READ MORE - LIHATLAH, SIAPA TEMANMU…!

Hidup Berkah tanpa Musik

Siapa saja yang hidup di akhir zaman, tidak lepas dari lantunan suara musik atau nyanyian. Bahkan mungkin di antara kita –dulunya- adalah orang-orang yang sangat gandrung terhadap lantunan suara seperti itu. Bahkan mendengar lantunan tersebut juga sudah menjadi sarapan tiap harinya. Itulah yang juga terjadi pada sosok si fulan. Hidupnya dulu tidaklah bisa lepas dari gitar dan musik. Namun, sekarang hidupnya jauh berbeda. Setelah Allah mengenalkannya dengan Al haq (penerang dari Al Qur’an dan As Sunnah), dia pun perlahan-lahan menjauhi berbagai nyanyian. Alhamdulillah, dia pun mendapatkan ganti yang lebih baik yaitu dengan kalamullah (Al Qur’an) yang semakin membuat dirinya  mencintai dan merindukan perjumpaan dengan Rabbnya.
Lalu, apa yang menyebabkan hatinya bisa berpaling kepada kalamullah dan meninggalkan nyanyian? Tentu saja, karena taufik Allah kemudian siraman ilmu. Dengan ilmu syar’i yang dia dapati, hatinya mulai tergerak dan mulai sadarkan diri. Dengan mengetahui dalil Al Qur’an dan Hadits yang membicarakan bahaya lantunan yang melalaikan, dia pun mulai meninggalkannya perlahan-lahan. Juga dengan bimbingan perkataan para ulama, dia semakin jelas dengan hukum keharamannya.
Alangkah baiknya jika kita melihat dalil-dalil yang dimaksudkan, beserta perkataan para ulama masa silam mengenai hukum nyanyian karena mungkin di antara kita ada yang masih gandrung dengannya. Maka, dengan ditulisnya risalah ini, semoga Allah membuka hati kita dan memberi hidayah kepada kita seperti yang didapatkan si fulan tadi. Allahumma a’in wa yassir (Ya Allah, tolonglah dan mudahkanlah).
Beberapa Ayat Al Qur’an yang Membicarakan “Nyanyian”
Pertama: Nyanyian dikatakan sebagai “lahwal hadits” (perkataan yang tidak berguna)
Allah Ta’ala berfirman,
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ وَإِذَا تُتْلَى عَلَيْهِ آيَاتُنَا
وَلَّى مُسْتَكْبِرًا كَأَنْ لَمْ يَسْمَعْهَا كَأَنَّ فِي أُذُنَيْهِ وَقْرًا فَبَشِّرْهُ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan. Dan apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami dia berpaling dengan menyombongkan diri seolah-olah dia belum mendengarnya, seakan-akan ada sumbat di kedua telinganya; maka beri kabar gembiralah padanya dengan azab yang pedih.” (QS. Luqman: 6-7)
Ibnu Jarir Ath Thabariy -rahimahullah- dalam kitab tafsirnya mengatakan bahwa para pakar tafsir berselisih pendapat apa yang dimaksud dengan لَهْوَ الْحَدِيثِlahwal hadits” dalam ayat tersebut. Sebagian mereka mengatakan bahwa yang dimaksudkan adalah nyanyian dan mendengarkannya. Lalu setelah itu Ibnu Jarir menyebutkan beberapa perkataan ulama salaf mengenai tafsir ayat tersebut. Di antaranya adalah dari Abu Ash Shobaa’ Al Bakrirahimahullah-. Beliau mengatakan bahwa dia mendengar Ibnu Mas’ud ditanya mengenai tafsir ayat tersebut, lantas beliau –radhiyallahu ‘anhu- berkata,
الغِنَاءُ، وَالَّذِي لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ، يُرَدِّدُهَا ثَلاَث َمَرَّاتٍ.
Yang dimaksud adalah nyanyian, demi Dzat yang tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak diibadahi selain Dia.” Beliau menyebutkan makna tersebut sebanyak tiga kali.
Penafsiran senada disampaikan oleh Mujahid, Sa’id bin Jubair, ‘Ikrimah, dan Qotadah. Dari Ibnu Abi Najih, Mujahid berkata bahwa yang dimaksud lahwu hadits adalah bedug (genderang).
Asy Syaukani dalam kitab tafsirnya mengatakan, “Lahwal hadits adalah segala sesuatu yang melalaikan seseorang dari berbuat baik. Hal itu bisa berupa nyanyian, permainan, cerita-cerita bohong dan setiap kemungkaran.” Lalu, Asy Syaukani menukil perkataan Al Qurtubhi yang mengatakan bahwa tafsiran yang paling bagus untuk makna lahwal hadits adalah nyanyian. Inilah pendapat para sahabat dan tabi’in.
Jika ada yang mengatakan, “Penjelasan tadi kan hanya penafsiran sahabat, bagaimana mungkin bisa jadi hujjah (dalil)?”
Maka, cukup kami katakan bahwa tafsiran sahabat terhadap suatu ayat bisa menjadi hujjah, bahkan bisa dianggap sama dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (derajat marfu’). Simaklah perkataan Ibnul Qayyim setelah menjelaskan penafsiran mengenai “lahwal hadits” di atas sebagai berikut,
Al Hakim Abu ‘Abdillah dalam kitab tafsirnya di Al Mustadrok mengatakan bahwa seharusnya setiap orang yang haus terhadap ilmu mengetahui bahwa tafsiran sahabat –yang mereka ini menyaksikan turunnya wahyu- menurut Bukhari dan Muslim dianggap sebagai perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di tempat lainnya, beliau mengatakan bahwa menurutnya, penafsiran sahabat tentang suatu ayat sama statusnya dengan hadits marfu’ (yang sampai pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam).” Lalu, Ibnul Qayyim mengatakan, “Walaupun itu adalah penafsiran sahabat, tetap penafsiran mereka lebih didahulukan daripada penafsiran orang-orang sesudahnya. Alasannya, mereka adalah umat yang paling mengerti tentang maksud dari ayat yang diturunkan oleh Allah karena Al Qur’an turun di masa mereka hidup”.
Jadi, jelaslah bahwa pemaknaan لَهْوَ الْحَدِيثِ /lahwal hadits/ dengan nyanyian patut kita terima karena ini adalah perkataan sahabat yang statusnya bisa sama dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kedua: Orang-orang yang bernyanyi disebut “saamiduun
Allah Ta’ala berfirman,
أَفَمِنْ هَذَا الْحَدِيثِ تَعْجَبُونَ  , وَتَضْحَكُونَ وَلا تَبْكُونَ , وَأَنْتُمْ سَامِدُونَ , فَاسْجُدُوا لِلَّهِ وَاعْبُدُوا
Maka, apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini? Dan kamu mentertawakan dan tidak menangis? Sedang kamu saamiduun? Maka, bersujudlah kepada Allah dan sembahlah (Dia). (QS. An Najm: 59-62)
Apa yang dimaksud سَامِدُونَ /saamiduun/?
Menurut salah satu pendapat, makna saamiduun adalah bernyanyi dan ini berasal dari bahasa orang Yaman. Mereka biasa menyebut “ismud lanaa” dan maksudnya adalah: “Bernyanyilah untuk kami”. Pendapat ini diriwayatkan dari ‘Ikrimah dan Ibnu ‘Abbas.
‘Ikrimah mengatakan, “Mereka biasa mendengarkan Al Qur’an, namun mereka malah bernyanyi. Kemudian turunlah ayat ini (surat An Najm di atas).”
Jadi, dalam dua ayat ini teranglah bahwa mendengarkan “nyanyian” adalah suatu yang dicela dalam Al Qur’an.
Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Mengenai Nyanyian
Hadits Pertama
Bukhari membawakan dalam Bab “Siapa yang menghalalkan khomr dengan selain namanya” sebuah riwayat dari Abu ‘Amir atau Abu Malik Al Asy’ari telah menceritakan bahwa dia tidak berdusta, lalu dia menyampaikan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِى أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ ، وَلَيَنْزِلَنَّ أَقْوَامٌ إِلَى جَنْبِ عَلَمٍ يَرُوحُ عَلَيْهِمْ بِسَارِحَةٍ لَهُمْ ، يَأْتِيهِمْ –
يَعْنِى الْفَقِيرَ – لِحَاجَةٍ فَيَقُولُوا ارْجِعْ إِلَيْنَا غَدًا . فَيُبَيِّتُهُمُ اللَّهُ وَيَضَعُ الْعَلَمَ ، وَيَمْسَخُ آخَرِينَ قِرَدَةً وَخَنَازِيرَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
“Sungguh, benar-benar akan ada di kalangan umatku sekelompok orang yang menghalalkan zina, sutera, khamr, dan alat musik. Dan beberapa kelompok orang akan singgah di lereng gunung dengan binatang ternak mereka. Seorang yang fakir mendatangi mereka untuk suatu keperluan, lalu mereka berkata, ‘Kembalilah kepada kami esok hari.’ Kemudian Allah mendatangkan siksaan kepada mereka dan menimpakan gunung kepada mereka serta Allah mengubah sebagian mereka menjadi kera dan babi hingga hari kiamat.”[7] Jika dikatakan menghalalkan musik, berarti musik itu haram.
Hadits di atas dinilai shahih oleh banyak ulama, di antaranya adalah: Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al Istiqomah (1/294) dan Ibnul Qayyim dalam Ighatsatul Lahfan (1/259). Penilaian senada disampaikan An Nawawi, Ibnu Rajab Al Hambali, Ibnu Hajar dan Asy Syaukanirahimahumullah-.
Memang, ada sebagian ulama semacam Ibnu Hazm dan orang-orang yang mengikuti pendapat beliau sesudahnya seperti Al Ghozali yang menyatakan bahwa hadits di atas memiliki cacat sehingga mereka pun menghalalkan musik. Alasannya, mereka mengatakan bahwa sanad hadits ini munqothi’ (terputus) karena Al Bukhari tidak memaushulkan sanadnya (menyambungkan sanadnya). Untuk menyanggah hal ini, kami akan kemukakan 5 sanggahan sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah:
Pertama, Al Bukhari betul bertemu dengan Hisyam bin ‘Ammar dan beliau betul mendengar langsung darinya. Jadi, jika Al Bukhari mengatakan bahwa Hisyam berkata, itu sama saja dengan perkataan Al Bukhari langsung dari Hisyam.
Kedua, jika Al Bukhari belum pernah mendengar hadits itu dari Hisyam, tentu Al Bukhari tidak akan mengatakan dengan lafazh jazm (tegas). Jika beliau mengatakan dengan lafazh jazm, sudah pasti beliau mendengarnya langsung dari Hisyam. Inilah yang paling mungkin, karena sangat banyak orang  yang meriwayatkan (hadits) dari Hisyam. Hisyam adalah guru yang sudah sangat masyhur. Adapun Al Bukhari adalah hamba yang sangat tidak mungkin melakukan tadlis (kecurangan dalam periwayatan).
Ketiga, Al Bukhari memasukkan hadits ini dalam kitabnya yang disebut dengan kitab shahih, yang tentu saja hal ini bisa dijadikan hujjah (dalil). Seandainya hadits tersebut tidaklah shahih menurut Al Bukhari, lalu mengapa beliau memasukkan hadits tersebut dalam kitab shahih?
Keempat, Al Bukhari membawakan hadits ini secara mu’allaq (di bagian awal sanad ada yang terputus). Namun, di sini beliau menggunakan lafazh jazm (pasti, seperti dengan kata qoola yang artinya dia berkata) dan bukan tamridh (seperti dengan kata yurwa atau yudzkaru, yang artinya telah diriwayatkan atau telah disebutkan). Jadi, jika Al Bukhari mengatakan, “Qoola: qoola Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam [dia mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ...]”, maka itu sama saja beliau mengatakan hadits tersebut disandarkan pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kelima, seandainya berbagai alasan di atas kita buang, hadits ini tetaplah shahih dan bersambung karena dilihat dari jalur lainnya, sebagaimana akan dilihat pada hadits berikutnya.
Hadits Kedua
Dari Abu Malik Al Asy’ari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيَشْرَبَنَّ نَاسٌ مِنْ أُمَّتِى الْخَمْرَ يُسَمُّونَهَا بِغَيْرِ اسْمِهَا يُعْزَفُ عَلَى رُءُوسِهِمْ بِالْمَعَازِفِ وَالْمُغَنِّيَاتِ يَخْسِفُ اللَّهُ بِهِمُ الأَرْضَ وَيَجْعَلُ مِنْهُمُ الْقِرَدَةَ وَالْخَنَازِيرَ
Sungguh, akan ada orang-orang dari umatku yang meminum khamr, mereka menamakannya dengan selain namanya. Mereka dihibur dengan musik dan alunan suara biduanita. Allah akan membenamkan mereka ke dalam bumi dan Dia akan mengubah bentuk mereka menjadi kera dan babi.”[9]
Hadits Ketiga
Dari Nafi’ –bekas budak Ibnu ‘Umar-, beliau berkata,
عُمَرَ سَمِعَ ابْنُ عُمَرَ صَوْتَ زَمَّارَةِ رَاعٍ فَوَضَعَ إِصْبَعَيْهِ فِى أُذُنَيْهِ وَعَدَلَ رَاحِلَتَهُ عَنِ الطَّرِيقِ وَهُوَ يَقُولُ يَا نَافِعُ أَتَسْمَعُ فَأَقُولُ نَعَمْ.
قَالَ فَيَمْضِى حَتَّى قُلْتُ لاَ. قَالَ فَوَضَعَ يَدَيْهِ وَأَعَادَ الرَّاحِلَةَ إِلَى الطَّرِيقِ وَقَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
وَسَمِعَ صَوْتَ زَمَّارَةِ رَاعٍ فَصَنَعَ مِثْلَ هَذَا
Ibnu ‘Umar pernah mendengar suara seruling dari seorang pengembala, lalu beliau menyumbat kedua telinganya dengan kedua jarinya. Kemudian beliau pindah ke jalan yang lain. Lalu Ibnu ‘Umar berkata, “Wahai Nafi’, apakah kamu masih mendengar suara tadi?” Aku (Nafi’) berkata, “Iya, aku masih mendengarnya.”
Kemudian, Ibnu ‘Umar terus berjalan. Lalu, aku berkata, “Aku tidak mendengarnya lagi.”
Barulah setelah itu Ibnu ‘Umar melepaskan tangannya dari telinganya dan kembali ke jalan itu lalu berkata, “Beginilah aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mendengar suara seruling dari seorang pengembala. Beliau melakukannya seperti tadi.”
Keterangan Hadits
Dari dua hadits pertama, dijelaskan mengenai keadaan umat Islam nanti yang akan menghalalkan musik,berarti sebenarnya musik itu haram kemudian ada yang menganggap halal. Begitu pula pada hadits ketiga yang menceritakan kisah Ibnu ‘Umar bersama Nafi’. Ibnu ‘Umar mencontohkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan hal yang sama dengannya yaitu menjauhkan manusia dari mendengar musik. Hal ini menunjukkan bahwa musik itu jelas-jelas terlarang.
Jika ada yang mengatakan bahwa sebenarnya yang dilakukan Ibnu ‘Umar tadi hanya menunjukkan bahwa itu adalah cara terbaik dalam mengalihkan manusia dari mendengar suara nyanyian atau alat musik, namun tidak sampai menunjukkan keharamannya, jawabannya adalah sebagaimana yang dikatakan Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni (julukan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah) rahimahullah berikut ini,
اللَّهُمَّ إلَّا أَنْ يَكُونَ فِي سَمَاعِهِ ضَرَرٌ دِينِيٌّ لَا يَنْدَفِعُ إلَّا بِالسَّدِّ
“Demi Allah, bahkan mendengarkan nyanyian (atau alat musik) adalah bahaya yang mengerikan pada agama seseorang, tidak ada cara lain selain dengan menutup jalan agar tidak mendengarnya.”
Kalam Para Ulama Salaf Mengenai Nyanyian (Musik)
Ibnu Mas’ud mengatakan, “Nyanyian menumbuhkan kemunafikan dalam hati sebagaimana air menumbuhkan sayuran.
Al Qasim bin Muhammad pernah ditanya tentang nyanyian, lalu beliau menjawab, “Aku melarang nyanyian padamu dan aku membenci jika engkau mendengarnya.” Lalu orang yang bertanya tadi mengatakan, “Apakah nyanyian itu haram?”  Al Qasim pun mengatakan,”Wahai anak saudaraku, jika Allah telah memisahkan yang benar dan yang keliru, lantas pada posisi mana Allah meletakkan ‘nyanyian’?
‘Umar bin ‘Abdul Aziz pernah menulis surat kepada guru yang mengajarkan anaknya, isinya adalah, ”Hendaklah yang pertama kali diyakini oleh anak-anakku dari budi pekertimu adalah kebencianmu pada nyanyian. Karena nyanyian itu berasal dari setan dan ujung akhirnya adalah murka Allah. Aku mengetahui dari para ulama yang terpercaya bahwa mendengarkan nyanyian dan alat musik serta gandrung padanya hanya akan menumbuhkan kemunafikan dalam hati sebagaimana air menumbuhkan rerumputan. Demi Allah, menjaga diri dengan meninggalkan nyanyian sebenarnya lebih mudah bagi orang yang memiliki kecerdasan daripada bercokolnya kemunafikan dalam hati.”
Fudhail bin Iyadh mengatakan, “Nyanyian adalah mantera-mantera zina.
Adh Dhohak mengatakan, “Nyanyian itu akan merusak hati dan akan mendatangkan kemurkaan Allah.
Yazid bin Al Walid mengatakan, “Wahai anakku, hati-hatilah kalian dari mendengar nyanyian karena nyanyian itu hanya akan mengobarkan hawa nafsu, menurunkan harga diri, bahkan nyanyian itu bisa menggantikan minuman keras yang bisa membuatmu mabuk kepayang. … Ketahuilah, nyanyian itu adalah pendorong seseorang untuk berbuat zina.”
Empat Ulama Madzhab Mencela Nyanyian
  1. Imam Abu Hanifah. Beliau membenci nyanyian dan menganggap mendengarnya sebagai suatu perbuatan dosa.[13]
  2. Imam Malik bin Anas. Beliau berkata, “Barangsiapa membeli budak lalu ternyata budak tersebut adalah seorang biduanita (penyanyi), maka hendaklah dia kembalikan budak tadi karena terdapat ‘aib.”[14]
  3. Imam Asy Syafi’i. Beliau berkata, “Nyanyian adalah suatu hal yang sia-sia yang tidak kusukai karena nyanyian itu adalah seperti kebatilan. Siapa saja yang sudah kecanduan mendengarkan nyanyian, maka persaksiannya tertolak.”[15]
  4. Imam Ahmad bin Hambal. Beliau berkata, “Nyanyian itu menumbuhkan kemunafikan dalam hati dan aku pun tidak menyukainya.”[16]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Tidak ada satu pun dari empat ulama madzhab yang berselisih pendapat mengenai haramnya alat musik.”
Bila Engkau Sudah Tersibukkan dengan Nyanyian dan Nasyid
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah memberikan pelajaran yang sangat berharga. Beliau mengatakan,
“Seorang hamba jika sebagian waktunya telah tersibukkan dengan amalan yang tidak disyari’atkan, dia pasti akan kurang bersemangat dalam melakukan hal-hal yang disyari’atkan dan bermanfaat. Hal ini jauh berbeda dengan orang yang mencurahkan usahanya untuk melakukan hal yang disyari’atkan. Pasti orang ini akan semakin cinta dan semakin mendapatkan manfaat dengan melakukan amalan tersebut, agama dan islamnya pun akan semakin sempurna.”
Lalu, Syaikhul  Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, ”Oleh karena itu, banyak sekali orang yang terbuai dengan nyanyian (atau syair-syair) yang tujuan semula adalah untuk menata hati. Maka, pasti karena maksudnya, dia akan semakin berkurang semangatnya dalam menyimak Al Qur’an. Bahkan sampai-sampai dia pun membenci untuk mendengarnya.”
Jadi, perkataan Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni (yang dijuluki Syaikhul Islam) memang betul-betul terjadi pada orang-orang yang sudah begitu gandrung dengan nyanyian, gitar dan bahkan dengan nyanyian “Islami” (yang disebut nasyid). Tujuan mereka mungkin adalah untuk menata hati. Namun, sayang seribu sayang, jalan yang ditempuh adalah jalan yang keliru karena hati mestilah ditata dengan hal-hal yang masyru’ (disyariatkan) dan bukan dengan hal-hal yang tidak masyru’, yang membuat kita sibuk dan lalai dari kalam Robbul ‘alamin yaitu Al Qur’an.
Tentang nasyid yang dikenal di kalangan sufiyah dan bait-bait sya’ir, Syaikhul Islam mengatakan,
“Oleh karena itu, kita dapati pada orang-orang yang kesehariannya dan santapannya tidak bisa lepas dari nyanyian, mereka pasti tidak akan begitu merindukan lantunan suara Al Qur’an. Mereka pun tidak begitu senang ketika mendengarnya. Mereka tidak akan merasakan kenikmatan tatkala  mendengar Al Qur’an dibanding dengan mendengar bait-bait sya’ir (nasyid). Bahkan ketika mereka mendengar Al Qur’an, hatinya pun menjadi lalai, begitu pula dengan lisannya akan sering keliru.”
Adapun melatunkan bait-bait syair (alias nasyid) asalnya dibolehkan, namun tidak berlaku secara mutlak. Melatunkan bait syair (nasyid) yang dibolehkan apabila memenuhi beberapa syarat berikut:
  1. Bukan lantunan yang mendayu-dayu sebagaimana yang diperagakan oleh para wanita.
  2. Nasyid tersebut tidak sampai melalaikan dari mendengar Al Qur’an.
  3. Nasyid tersebut terlepas dari nada-nada yang dapat membuat orang yang mendengarnya menari dan berdansa.
  4. Tidak diiringi alat musik.
  5. Maksud mendengarkannya bukan mendengarkan nyanyian dan nadanya, namun tujuannya adalah untuk mendengar nasyid (bait syair).
  6. Diperbolehkan bagi wanita untuk memukul rebana pada acara-acara yang penuh kegembiraan dan masyru’ (disyariatkan) saja.
  7. Maksud nasyid ini adalah untuk memberi dorongan semangat ketika keletihan atau ketika berjihad.
  8. Tidak sampai melalaikan dari yang wajib atau melarang dari kewajiban.
Penutup
Kami hanya ingin mengingatkan bahwa pengganti nyanyian dan musik adalah Al Qur’an. Dengan membaca, merenungi, dan mendengarkan lantunan Al-Qur’anlah hati kita akan hidup dan tertata karena inilah yang disyari’atkan.
Ingatlah bahwa Al Qur’an dan musik sama sekali tidak bisa bersatu dalam satu hati. Kita bisa memperhatikan perkataan murid Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, yaitu Ibnul Qayyim rahimahullah. Beliau mengatakan, “Sungguh nyanyian dapat memalingkan hati seseorang dari memahami, merenungkan dan mengamalkan isi Al Qur’an. Ingatlah, Al Qur’an dan nyanyian selamanya tidaklah mungkin bersatu dalam satu hati karena keduanya itu saling bertolak belakang. Al Quran melarang kita untuk mengikuti hawa nafsu, Al Qur’an memerintahkan kita untuk menjaga kehormatan diri dan menjauhi berbagai bentuk syahwat yang menggoda jiwa. Al Qur’an memerintahkan untuk menjauhi sebab-sebab seseorang melenceng dari kebenaran dan melarang mengikuti langkah-langkah setan. Sedangkan nyanyian memerintahkan pada hal-hal yang kontra (berlawanan) dengan hal-hal tadi.”
Dari sini, pantaskah Al Qur’an ditinggalkan hanya karena terbuai dengan nyanyian? Ingatlah, jika seseorang meninggalkan musik dan nyanyian, pasti Allah akan memberi ganti dengan yang lebih baik.
إِنَّكَ لَنْ تَدَعَ شَيْئاً لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ بَدَّلَكَ اللَّهُ بِهِ مَا هُوَ خَيْرٌ لَكَ مِنْهُ
Sesungguhnya jika engkau meninggalkan sesuatu karena Allah, niscaya Allah akan memberi ganti padamu dengan sesuatu yang lebih baik.”
Tatkala Allah memerintahkan pada sesuatu dan melarang dari sesuatu pasti ada maslahat dan manfaat di balik itu semua. Sibukkanlah diri dengan mengkaji ilmu dan mentadaburri Al Quran, niscaya perlahan-lahan perkara yang tidak manfaat semacam nyanyian akan ditinggalkan. Semoga Allah membuka hati dan memberi hidayah bagi setiap orang yang membaca risalah ini.
Washallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi ajma’in. Walhamdulillahi robbil ‘alamin.
***
Disempurnakan di Pangukan-Sleman, 16 Rabi’ul Awwal 1431 H (02/03/2010)
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id
READ MORE - Hidup Berkah tanpa Musik
 
davitblog awaspinter topkabar awasgila