Sepenggal Kisah Perjalanan Dakwah Syaikh Rabi’ di Sudan

Inilah sepenggal kisah perjalanan dakwah Asy Syaikh Rabi’ bin Hadi ‘Umair Al Madhkhali hafidzahullah di Sudan yang sepatutnya kita jadikan teladan. Beliau hafidzahullah mengisahkan:
(Sekarang) akan saya ceritakan perjalanan dakwah saya ke Sudan. Saat itu saya singgah di Port (bandara) Sudan. Saya disambut para pemuda Jama’ah Ansharus Sunnah. Mereka memberi masukan: “Ya Syaikh, bolehkah kami menyampaikan beberapa saran kepada anda?”
“Silahkan!” kataku.
Mereka berkata: “Wahai Syaikh, silakan anda berceramah sesuai kehendak anda dengan (mengutip) firman Allah dan sabda Nabi-Nya, tidak mengapa engkau sebutkan berbagai jenis bid’ah dan kesesatan, baik kaitannya dengan doa kepada selain Allah, menyembelih, nadzar, istighatsah (minta tolong) kepada selain-Nya. Tapi sebaiknya engkau tidak menyinggung thariqah tertentu atau syaikh fulan! Jangan sampai engkau mengatakan bahwa Tijaniyyah atau Bathiniyyah adalah kelompok sempalan yang sesat. Jangan pula engkau mencaci tokoh-tokohnya, (kami rasa) cukup engkau sebutkan perkara-perkara aqidah (secara umum), niscaya akan engkau dapati mereka menerima al haq dari apa yang engkau sampaikan.”
Saya katakan kepadanya: “Baiklah.”
Akhirnya saya ikuti anjuran mereka. Ternyata saya menyaksikan sambutan yang cukup besar dari kaum muslimin terhadap dakwah ini.
Wahai para penuntut ilmu, kalian jangan menyangka bahwa termasuk dari kesempurnaan manhaj yang benar ini adalah keharusan mencaci maki (tokoh penyesat). Tidak! Bahkan Allah berfirman:
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.” (Al An’am: 108)
Kalau kalian mencerca syaikh fulan atau kau katakan: “Fulan sesat!” Atau julukan-julukan lainnya atau kalian katakan: “Thariqah fulan sesat!” justru yang demikian ini hanya akan membuat umat lari menjauh darimu. Akhirnya kalian berdosa lantaran kalian telah menjauhkan manusia dari dakwah yang benar, kalian munaffirun (membuat orang lari).
Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tatkala mengutus Mu’adz dan Abu Musa radhiyallahu ‘anhuma ke Yaman beliau berpesan kepada keduanya:
“Hendaklah kalian permudah dan jangan mempersulit, gembirakan mereka jangan kalian membuat mereka lari!”
Inilah metode dakwah, di dalamnya ada kemudahan, kabar gembira dan tidak ada hal yang membuat orang lari darinya.
Demi Allah, tidaklah aku masuk suatu masjid kecuali aku melihat wajah mereka berseri-seri sehingga aku tidak bisa keluar dari kerumunan massa yang berebut berjabat tangan serta mendoakan kebaikan untukku.
Ternyata para syaithan dari pentolan-pentolan thariqah shufiyyah melihat cara dakwah yang saya tempuh ini sebagai ancaman yang berbahaya.
Akhirnya tokoh-tokoh tersebut berkumpul dan berunding untuk merumuskan bantahan-bantahan terhadap ceramah saya.
Mereka memintaku untuk memberi ceramah di sebuah tanah lapang. Saya penuhi permintaanya. Akupun berceramah hingga selesai.
Giliran pembesar mereka bangkit (setelahku) dan mengomentari ucapanku yang tadi. Mulailah orang ini mengutarakan pendapatnya tentang bolehnya beristighatsah kepada selain Allah, bertawassul (membuat perantara) dengan mayit, men-tha’thil (mengingkari) sifat-sifat Allah dan ucapan bathil lainnya … Mereka kemas semua ucapan bathil dengan takwil-takwil yang menyimpang dan keji.
Usai dia berbicara -namun tidak menyertakan dasar dalilnya, yang ada hanyalah hadits-hadits dhaif dan palsu atau nukilan dari ucapan Socrattes – maka aku katakan kepada hadirin: “Apakah hadirin mendengar ucapanku? Bukankah yang aku katakan adalah semata-mata firman Allah dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam serta para imam kenamaan? Tapi lihatlah orang ini! Yang ia sebutkan adalah hadits-hadits palsu belaka. Al Qur’an lebih berhak untuk disebutkan. Apakah kalian mendengar firman Allah yang membolehkan istighatsah kepada selain-Nya?! Bolehkah bertawassul (dengan mayit)?! Atau kalian pernah mendengar ucapan para imam terkemuka dalam hal ini semua?! Tidak sama sekali tidak! Kalian hanya mendengar hadits-hadits palsu dan dhaif atau tak lebih dari sekedar omongan segelintir manusia yang sangat masyhur di kalangan kalian sebagai ahli khurafat?!”
Tidak lama kemudian orang tersebut bangkit sambil mencaci maki! Namun aku hanya tersenyum dan sama sekali tidak menanggapi caciannya. Aku hanya mengucapkan: Jazakallahu khairan, barakallahu fiik, barakallahu fiik, jazakallahu khairan! Tidak lebih dari itu.
Bubarlah acara tersebut. Maka demi Allah yang tidak ada ilah yang haq kecuali Dia. Ternyata keesokan harinya banyak orang memperbincangkan kejadian ini, baik di masjid-masjid maupun di pasar-pasar. Mereka katakan bahwa orang-orang Sufi sudah kalah.
Karenanya belajarlah wahai saudaraku, metode dakwah yang benar sesuai dengan syariat, (tanamkan pada diri kita) tujuan kita berdakwah tidak lain agar umat manusia mendapatkan hidayah. Dan berupaya agar al haq sampai kepada hati manusia.
Wahai saudaraku, wajib bagi kalian menggunakan suatu sarana di dalam berdakwah illallah dengan cara syar’i yang tidak menyimpang dari ajaran Islam, bukan berarti menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Jelasnya, ini adalah ciri-ciri ahlul bid’ah, sehingga mereka gampang melakukan kedustaan, bersilat lidah dan saling mencaci. Demikian yang dikatakan oleh Imam Ali bin Harb Al Mushili tentang ciri-ciri ahlul bid’ah.
Semua pengekor hawa nafsu selalu berdusta dan mereka tidak peduli dengan kedustaan tadi. Dan metode semacam ini (kedustaan) tidak ada pada kita Ahlus Sunnah. Kita adalah orang-orang yang jujur, berpegang dengan kebenaran disamping itu kita senantiasa mencari metode dakwah yang mudah diterima manusia dan menarik simpati mereka.
Kemudian kita melanjutkan perjalanan ke Kasala, masih wilayah Sudan. Masya Allah, dakwah Ahlus Sunnah mendapatkan kemudahan dan mendapat tanggapan bagus. Kita diberi kesempatan untuk berkhutbah dan kita bersyukur dengan keadaan ini.
Kemudian kita pergi ke kota Ghatharif, sebuah kota kecil di sana. Kami menyempatkan diri untuk mengelilingi masjid-masjid di kota ini. Ada sebagian dari Jama’ah Ansharus Sunnah mengatakan: “Ya Syaikh, hanya tinggal satu masjid di kota ini yang belum terjamah dakwah ini, sebab masjid ini adalah basis Thariqah Tijaniyyah lantaran itu kita belum bisa masuk kesana.”
“Lho kenapa?”
“Sebab mereka sangat fanatik.”
“Baiklah, kalau demikian kita pergi ke sana. Kita minta izin. Kalau diizinkan untuk bicara, maka kita bicara. Tapi kalau mereka melarang, maka udzur kita di sisi Allah. Dan ingat! Jangan kita memaksakan diri untuk bicara.”
Sampailah kami di masjid mereka. Kita shalat bersama mereka sebagai makmum. Usai shalat, kami ucapkan salam kepada sang imam. Aku berkata, “Bolehkah aku berbicara di hadapan saudara-saudara kami disini?”
“Silahkan!” jawab sang imam.
Mulailah aku berceramah, aku ajak mereka untuk mentauhidkan Allah dan melaksanakan Sunnah dan perkara-perkara lain dari agama.
Sesekali aku menyinggung beberapa kesalahan serta berbagai kesesatan yang ada. Di sela-sela itu aku mengutip hadits Aisyah -Muttafaq alaihi yang berbunyi:
“Ada tiga hal, barangsiapa yang mengatakan tiga perkara ini maka ia telah melakukan kedustaan yang besar di sisi Allah. Barangsiapa yang meyakini bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam telah melihat Rabb-nya (di dunia) maka ia telah melakukan kedustaan yang besar di sisi Allah. Kedua: Barang siapa meyakini bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam mengetahui perkara-perkara yang akan datang maka ia telah melakukan kedustaan yang besar di sisi Allah… -dan saya sebutkan pula berbagai dalil yang mendukung hadits ini- Ketiga: Barangsiapa meyakini bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menyampaikan risalah dari Allah secara sempurna maka ia telah melakukan kedustaan yang besar di sisi Allah.”
Lalu sang imam berkomentar (ia terlihat gusar dan gelisah): “Demi Allah, sesungguhnya Nabi Muhammad telah melihat Allah dengan kedua matanya di dunia.”
Lalu aku hanya bisa menyambut komentar sang imam dengan ucapan: Jazakallahu khairan. (Tentunya kita tahu) Aisyah sebagai istri Rasul lebih tahu keadaan beliau. Kalaulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam benar melihat Rabb-nya di dunia tentu Aisyah akan mengabarkannya, tapi kenapa ia tidak mengabarkannya?
Lalu ia mendesakku dengan pertanyaan bertubi-tubi.
Aku katakan: “Ya akhi, tunggu sebentar, beri kesempatan kepadaku agar aku selesaikan jawabanku satu persatu. Setelah itu silakan engkau lanjutkan dengan pertanyaan lain sekehendakmu. Apa yang aku ketahui akan aku jawab dan apa yang tidak aku ketahui aku katakan kepadamu: Wallahu a’lam.”
Lalu aku abaikan orang itu dan aku teruskan pembicaraanku. Aku tidak tahu apakah ia tetap bersamaku atau pergi dari majelis, karena akupun sengaja tidak menoleh kepadanya. Terdengar olehku bisikan orang: “Benar juga ucapan orang ini.” Terdengar juga dari selain dia kalimat dengan imbuhan, “Demi Allah, lelaki ini hanya mengucapkan firman Allah dan Rasul-Nya.” Barakallahu fiikum -adzan Isya telah dikumandangkan. Maka berakhirlah acara tersebut lantas hadirin melaksanakan sholat Isya’.
Tiba-tiba mereka mendorongku untuk menjadi imam. Aku katakan: “Sama sekali aku tidak mau menjadi imam.”
Malah mereka mengatakan: “Wallahi, shalatlah mengimami kami, wallahi, shalatlah menjadi imam kami.” Aku katakan: “Baiklah kalau begitu.”
Akhirnya aku pun shalat mengimami mereka. Usai shalat aku menunggu sejenak. Kemudian aku pulang bersama para pemuda Ansharus Sunnah.
Aku katakan kepada mereka: “Kemana sang imam pergi?”
Mereka menjawab: “Telah diusir!”
“Lho, siapa yang mengusirnya?” tanyaku lagi.
“Wallahi, jama’ahnya yang mengusir dia!” tandas mereka.
Itulah yang terjadi, wahai saudara-saudaraku! Singkatnya, jika ada yang datang berdakwah kepada mereka kemudian membodoh-bodohkan pengikut aliran Tijani, boleh jadi mereka akan menebas lehermu, tidak cukup hanya diusir! Tapi jika kalian datang berdakwah kepada mereka dengan hikmah dan lemah lembut -barakallahu fiikum- maka Allah akan memberi manfaat kepada mereka dengan sebab kedua perangai tersebut.
Hendaknya engkau berbekal dengan ilmu yang bermanfaat, hujjah yang kokoh, senantiasa memprioritaskan hikmah di dalam dakwah kalian. Wajib atas kalian untuk berhias diri dengan akhlak mulia yang telah dianjurkan oleh Allah dalam Kitab-Nya dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sesungguhnya itu merupakan wasilah untuk mendapatkan pertolongan dan kesuksesan.
Yakinilah bahwa shahabat tidak menyebarkan Islam ini dengan mudah merasuk ke dalam hati umat manusia kecuali karena peranan hikmah dan keilmuan mereka yang lebih mendominasi ketimbang dengan pedang. Di sisi lain, orang yang mendapat hidayah Islam di bawah naungan pedang, seringnya kurang kokoh. Sementara orang yang mendapat hidayah Islam melalui penyampaian ilmu, hujjah, dan dalil, justru lebih kokoh keislamannya -dengan izin dan taufik Allah.
Maka seyogyanya kalian menempuh jalan ini, sekaligus berupaya dengan sungguh-sungguh mencari ilmu dan berdakwah ke jalan Allah.
Sumber: Dakwah Salafiyah Dakwah Penuh Hikmah, karya Asy Syaikh Rabi’ bin Hadi ‘Umair Al Madkhali (diterjemahkan oleh Al Ustadz Abu Affan Asasuddin) terbitan Qaulan Karima hal.
36-45.
READ MORE - Sepenggal Kisah Perjalanan Dakwah Syaikh Rabi’ di Sudan

Senyum Indonesia, Senyuman "Ala Rasulullah"


MOMEN Maulid Nabi Muhammad Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) biasa diperingati umat Islam hanya sebatas seremonial. Biasanya, Maulid Nabi diperingati hanya dengan berkumpul dan makan bersama, mengundang ustadz penceramah, dan ada yang melantunkan syair pujian dan nyanyian. Alasannya sederhana, bukti kecintaan kepada Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم). Tapi setelah itu semua kembali seperti biasa, tak  ada nilai-nilai dari Rasulullah yang diambil dan dijadikan pelajaran.
Kecintaan sesungguhnya kepada Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) seharusnya dibuktikan dengan mengikuti (ittiba’) sunnah atau jalan hidup yang ditempuhnya, yakni hidup berdasarkan syariat Islam agama yang sempurna (QS. Al Maidah: 3). Dengan mengikuti Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam berarti umat Islam berada di jalan yang lurus (QS. Al An’am: 153) dan telah membuktikan cintanya kepada Allah SWT. Allah SWT berfirman: Katakanlah (Muhammad), jika kamu benar-benar mencintai Allah maka ikutilah aku (QS. Ali Imran: 31).
Akhlak Rasulullah
Salah satu misi diutusnya Nabi Muhammad Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) ke muka bumi adalah menyempurnakan aqidah dan akhlak manusia.
Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) bersabda: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak.” (HR. Ahmad).
Akhlak dalam bahasa kekinian berarti karakter. Karakter adalah kepribadian yang dimiliki seseorang yang bersifat mengikat pada diri dan mewarnai kehidupannya yang berdasarkan nilai-nilai yang diyakini. Jika keyakinan itu berupa nilai-nilai keislaman, maka akhlak atau karakter yang terbentuk tentu islami.
Akhlak dalam pandangan Islam, memiliki makna yang dalam. Kebaikannya bersifat mutlak, menyeluruh, langgeng, dan kewajiban yang harus dipatuhi. Suatu perbuatan baru yang dilakukan diluar kebiasaan, tidak disebut sebagai akhlak. Karena akhlak harus dilakukan berulang-ulang dan timbul dengan mudah tanpa dipikirkan terlebih dahulu. Dan bagi pelanggarnya ada sanksi, yaitu dosa (Ensiklopedi Islam, Van Hoeve, Jakarta).
Ali bin Abi Thalib pernah ditanya: “Bagaimanakah akhlak Rasulullah?” Beliau menjawab dengan membaca Firman Allah:
إِنَّمَا الحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَإِن تُؤْمِنُوا وَتَتَّقُوا يُؤْتِكُمْ أُجُورَكُمْ وَلَا يَسْأَلْكُمْ أَمْوَالَكُمْ
“Sesungguhnya kehidupan dunia hanyalah permainan dan gurauan.”  (QS. Muhammad: 36). Dunia yang besar dan luas ini menurut pandangan Allah Subhanahu Wa Ta’ala hanyalah sebuah permainan dan gurauan, tidak mampu untuk dijelaskan, lalu bagaimana mungkin akan menjelaskan akhlak Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) yang menurut Allah Subhanahu Wa Ta’ala adalah tinggi dan agung?
Dalam firman-Nya: “Sesungguhnya engkau (Muhammad) berada di atas akhlak yang agung.” (QS. Al Qalam: 4).
Ummul mukminin, Aisyah ra., juga pernah ditanya tentang akhlak Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم). Dengan sederhana Aisyah ra. Menjawab,  inti segala akhlak Rasulullah  adalah Al-Quran.
Fakta Panjang  Umur
Tentu banyak akhlak Rasulullah yang tidak semua bisa kita tiru. Barangkali, ada baiknya kita meniru satu saja dalam bahasan kali ini, yakni akhlak Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) tentang bermuka manis dan tersenyum.
Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) mengingatkan: “Jangan engkau remehkan apa saja dari kebaikan, meskipun engkau bermuka manis (tersenyum) saat bertemu saudaramu.”  (HR. Muslim).
Dalam hadits yang lain disebutkan, “Senyummu terhadap saudaramu adalah sedekah.” (HR. Tarmidzi).
Adalah Jabir, seorang sahabat Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم). Beliau berkata:  “Sejak aku masuk Islam, Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam tidak pernah menghindar dariku. Dan beliau tidak memandangku kecuali dengan tersenyum kepadaku.”  (HR. Bukhari-Muslim).
Setelah melewati 14 Abad lamanya, terbukti elaui fakta ilmiah yang disumbangkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Senyuman yang ikhlas karena Allah Subhanahu Wa Ta’aa memberi efek yang luar biasa bagi hubungan dan kesehatan tubuh manusia. Sebaliknya, senyum yang tidak ikhlas, getir, mengandung unsur kepentingan, tuntutan sebuah pekerjaan, tidak akan memberi kebaikan apa-apa.
Para psikolog dari University of California, AS, pernah meniliti 141 buah foto tahunan pelajar SMU. Sebelum pemotretan, fotografer selalu berkata “smile”. Dari foto-foto tersebut dipilah senyuman para pelajar yang kesannya dibuat-buat atau dipaksakan (fake smile) dan senyuman yang dianggap asli dan tulus (genuine smile). Saat mantan pelajar itu sudah berumur 27, 43, dan 52 tahun, mereka ditanya tentang status pernikahan dan kepuasan hidup mereka.
Kesimpulan hasil penelitian tersebut menunjukkan, bahwa kaum wanita yang  memiliki genuine smile rata-rata merasa puas dan kuat menjalani hidup, memiliki kelanggengan dalam berumah tangga dibandingkan yang lainnya.  Benarlah sabda Rasulullah SAW: Kamu tidak akan bisa mempererat manusia dengan hartamu, tapi pereratlah manusia dengan muka ceria (senyuman) dan akhlak yang baik (HR. Abu Ya’la disahihkan oleh Al Hakim).
Psikolog Elly Risman dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI), juga pernah meneliti tentang senyuman. Hasilnya, senyum itu mampu mencegah agresivitas dan merupakan sedekah pertama buat otak. Dengan tersenyum batang otak menjadi dingin. Batang otak yang dingin pencetus keluarnya kelenjar seretonim yang anti agresivitas. Dengan senyuman kita memberi enzim vitamin untuk otak sendiri dan untuk orang lain.
Peneliti lain, Profesor Lee, Herbert M Lefcourt dalam bukunya “Handbook of Positive Psychology”,menulis secara terinci efek humor pada kesehatan fisik dan mental: (1) humor sebagai aset positif dalam pemulihan dari kesakitan, (2) humor sebagai cara koping yang efektif, (3) humor dan fungsi sistem imun, (4) humor dalam  mengatasi guncangan fisiologis karena stress. [Herbert M Lefcourt, Handbook of Positive Psycology, Oxpord University Press, 2002, h. 619]
Fakta lain ditunjukkan Marianne LaFrance, PhD dalam buku terbarunya, “Lip Service”. Profesor Psikologi Universitas Yale itu mengungkapkan penelitian terbaru di lapangan manfaat dan efek senyum yang dilihat secara biologi sampai antropologi. Penelitian ini menemukan beberapa fakta (tepatnya 6 fakta). Tentu saja yang tidak kalah penting adalah senyum berhubungan dengan panjang umur. Setidaknya terbukti kalau senyum melepaskan energi positif yang berhubungan dengan kebaikan.
Tersenyum adalah kegiatan yang mudah, tidak perlu dibayar, dan tidak ada yang memaksa. Jika selama ini senyuman terlalu mahal untuk orang lain, buatlah ia menjadi sedekah yang paling murah. Modalnya hanya dengan wajah manis, ceria dan ditambah ikhlas karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Ingatlah, Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) sekali saja bermuka masam, Allah Subhanahu Wa Ta’ala langsung menegurnya dengan menurunkan 16 ayat dari 42 ayat dalam surat ‘ Abasa yang berarti: “bermuka masam.”
Pertanyaannya, berapa kali wajah dan hati kita masam, cemberut, dan kusam?
Adalah Abdullah bin al-Harits bin Juz r.a. menceritakan, “Aku tidak pernah melihat seorangpun yang lebih banyak tersenyum selain Rasulullah.” (Riwayat At-Tirmidzi)
Sedang Jarir bin Abdullah r.a. menceritakan, “Sejak aku masuk Islam, Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam tidak pernah menghalangiku dan tidaklah beliau memandangiku melainkan sambil tersenyum.” (Shahih Muslim).
Bayangkanlah jika diri kita, keluarga kita, tetangga kita, bahkan Bangsa Indonesia mencontoh satu saja dari akhlak Rasullah ini, apa kira-kira hasilnya?
Bisakah di antara kita semua saling menasehati, saling mengingatkan dan saling bekerja membangun bangsa ini dengan semangat ‘senyum ala Rasulullah?’  Barangkali, ketegangan, saling bentrok, kekerasan, adu-jotos, adu-otot, adu-domba akan segera sirna, sebab semua orang datang dengan hati dan wajah “senyum” serta dengan semangat kebaikan. Wallahua’lam. */Lidus Yardi, penulis guru SMKN 3 Teluk Kuantan dan Sekretaris Majelis Tabligh Muhammadiyah Kuantan Singingi 
Foto: indonesiaberprestasi.web.id
Rep: Administrator
Red: Cholis Akbar
Sumber: http://www.hidayatullah.com/read/21172/15/02/2012/senyum-indonesia,-senyuman-
READ MORE - Senyum Indonesia, Senyuman "Ala Rasulullah"

Sebab-Sebab Turunnya Rizki

Akhir-akhir ini banyak orang yang mengeluhkan masalah penghasilan atau rizki, entah karena merasa kurang banyak atau karena kurang berkah. Begitu pula berbagai problem kehidupan, mengatur pengeluaran dan kebutuhan serta bermacam-macam tuntutannya. Sehingga masalah penghasilan ini menjadi sesuatu yang menyibukkan, bahkan membuat bingung dan stress sebagian orang. Maka tak jarang di antara mereka ada yang mengambil jalan pintas dengan menempuh segala cara yang penting keinginan tercapai. Akibatnya bermunculanlah koruptor, pencuri, pencopet, perampok, pelaku suap dan sogok, penipuan bahkan pembunuhan, pemutusan silaturrahim dan meninggal kan ibadah kepada Allah untuk mendapatkan uang atau alasan kebutuhan hidup.
Mereka lupa bahwa Allah telah menjelaskan kepada hamba-hamba-Nya sebab-sebab yang dapat mendatangkan rizki dengan penjelasan yang amat gamblang. Dia menjanjikan keluasan rizki kepada siapa saja yang menempuhnya serta menggunakan cara-cara itu, Allah juga memberikan jaminan bahwa mereka pasti akan sukses serta mendapatkan rizki dengan tanpa disangka-sangka.
Diantara sebab-sebab yang melapangkan rizki adalah sebagai berikut:
- Takwa Kepada Allah
Takwa merupakan salah satu sebab yang dapat mendatangkan rizki dan menjadikannya terus bertambah. Allah Subhannahu wa Ta”ala berfirman, artinya,
“Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar. Dan memberinya rezki dari arah yang tidada disangka-sangkanya.” (At Thalaq 2-3)
Setiap orang yang bertakwa, menetapi segala yang diridhai Allah dalam segala kondisi maka Allah akan memberikan keteguhan di dunia dan di akhirat. Dan salah satu dari sekian banyak pahala yang dia peroleh adalah Allah akan menjadikan baginya jalan keluar dalam setiap permasalahan dan problematika hidup, dan Allah akan memberikan kepadanya rizki secara tidak terduga.
Imam Ibnu Katsir berkata tentang firman Allah di atas, “Yaitu barang siapa yang bertakwa kepada Allah dalam segala yang diperintahkan dan menjauhi apa saja yang Dia larang maka Allah akan memberikan jalan keluar dalam setiap urusannya, dan Dia akan memberikan rizki dari arah yang tidak disangka-sangka, yakni dari jalan yang tidak pernah terlintas sama sekali sebelumnya.”
Allah swt juga berfirman, artinya,
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. 7:96)
- Istighfar dan Taubat
Termasuk sebab yang mendatang kan rizki adalah istighfar dan taubat, sebagaimana firman Allah yang mengisahkan tentang Nabi Nuh Alaihissalam ,
“Maka aku katakan kepada mereka:”Mohonlah ampun kepada Rabbmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun” niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.”(QS. 71:10-12)
Al-Qurthubi mengatakan, “Di dalam ayat ini, dan juga dalam surat Hud (ayat 52,red) terdapat petunjuk bahwa istighfar merupakan penyebab turunnya rizki dan hujan.”
Ada seseorang yang mengadukan kekeringan kepada al-Hasan al-Bashri, maka beliau berkata, “Beristighfarlah kepada Allah”, lalu ada orang lain yang mengadukan kefakirannya, dan beliau menjawab, “Beristighfarlah kepada Allah”. Ada lagi yang mengatakan, “Mohonlah kepada Allah agar memberikan kepadaku anak!” Maka beliau menjawab, “Beristighfarlah kepada Allah”. Kemudian ada yang mengeluhkan kebunnya yang kering kerontang, beliau pun juga menjawab, “Beristighfarlah kepada Allah.”
Maka orang-orang pun bertanya, “Banyak orang berdatangan mengadukan berbagai persoalan, namun anda memerintahkan mereka semua agar beristighfar.” Beliau lalu menjawab, “Aku mengatakan itu bukan dari diriku, sesungguhnya Allah swt telah berfirman di dalam surat Nuh,(seperti tersebut diatas, red)
Istighfar yang dimaksudkan adalah istighfar dengan hati dan lisan lalu berhenti dari segala dosa, karena orang yang beristighfar dengan lisannnya saja sementara dosa-dosa masih terus dia kerjakan dan hati masih senantiasa menyukainya maka ini merupakan istighfar yang dusta. Istighfar yang demikian tidak memberikan faidah dan manfaat sebagaimana yang diharapkan.
- Tawakkal Kepada Allah
Allah swt berfirman, artinya,
“Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. 65:3)
Nabi saw telah bersabda, artinya,
“Seandainya kalian mau bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benarnya maka pasti Allah akan memberikan rizki kepadamu sebagaimana burung yang diberi rizki, pagi-pagi dia dalam keadaan lapar dan kembali dalam keadaan kenyang.” (HR Ahmad, at-Tirmidzi dan dishahihkan al-Albani)
Tawakkal kepada Allah merupakan bentuk memperlihatkan kelemahan diri dan sikap bersandar kepada-Nya saja, lalu mengetahui dengan yakin bahwa hanya Allah yang memberikan pengaruh di dalam kehidupan. Segala yang ada di alam berupa makhluk, rizki, pemberian, madharat dan manfaat, kefakiran dan kekayaan, sakit dan sehat, kematian dan kehidupan dan selainnya adalah dari Allah semata.
Maka hakikat tawakkal adalah sebagaimana yang di sampaikan oleh al-Imam Ibnu Rajab, yaitu menyandarkan hati dengan sebenarnya kepada Allah Azza wa Jalla di dalam mencari kebaikan (mashlahat) dan menghindari madharat (bahaya) dalam seluruh urusan dunia dan akhirat, menyerahkan seluruh urusan hanya kepada Allah serta merealisasikan keyakinan bahwa tidak ada yang dapat memberi dan menahan, tidak ada yang mendatangkan madharat dan manfaat selain Dia.
- Silaturrahim
Ada banyak hadits yang menjelaskan bahwa silaturrahim merupakan salah satu sebab terbukanya pintu rizki, di antaranya adalah sebagai berikut:
-Sabda Nabi Shalallaahu alaihi wasalam, artinya,
“Dari Abu Hurairah ra berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bersabda, “Siapa yang senang untuk dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya maka hendaklah menyambung silaturrahim.” (HR Al Bukhari)
-Sabda Nabi saw, artinya,
“Dari Abu Hurairah Radhiallaahu anhu , Nabi Shalallaahu alaihi wasalam bersabda, “Ketahuilah orang yang ada hubungan nasab denganmu yang engkau harus menyambung hubungan kekerabatan dengannya. Karena sesungguhnya silaturrahim menumbuhkan kecintaan dalam keluarga, memperbanyak harta dan memperpanjang umur.” (HR. Ahmad dishahihkan al-Albani)
Yang dimaksudkan dengan kerabat (arham) adalah siapa saja yang ada hubungan nasab antara kita dengan mereka, baik itu ada hubungan waris atau tidak, mahram atau bukan mahram.
- Infaq fi Sabilillah
Allah swt berfirman, artinya,
“Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dia lah Pemberi rezki yang sebaik-baiknya.” (QS. 34:39)
Ibnu Katsir berkata, “Yaitu apapun yang kau infakkan di dalam hal yang diperintahkan kepadamu atau yang diperbolehkan, maka Dia (Allah) akan memberikan ganti kepadamu di dunia dan memberikan pahala dan balasan di akhirat kelak.”
Juga firman Allah yang lain,artinya,
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan dari padanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji. Syaitan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir); sedang Allah menjanjikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. 2:267-268)
Dalam sebuah hadits qudsi Rasulullah saw bersabda, Allah swt berfirman, “Wahai Anak Adam, berinfaklah maka Aku akan berinfak kepadamu.” (HR Muslim)
- Menyambung Haji dengan Umrah
Berdasarkan pada hadits Nabi Shalallaahu alaihi wasalam dari Ibnu Mas”ud Radhiallaahu anhu dia berkata, Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bersabda, artinya,
“Ikutilah haji dengan umrah karena sesungguhnya keduanya akan menghilangkan kefakiran dan dosa sebagaimana pande besi menghilangkan karat dari besi, emas atau perak, dan haji yang mabrur tidak ada balasannya kecuali surga.” (HR. at-Tirmidzi dan an- Nasai, dishahihkan al-Albani)
Maksudnya adalah, jika kita berhaji maka ikuti haji tersebut dengan umrah, dan jika kita melakukan umrah maka ikuti atau sambung umrah tersebut dengan melakukan ibadah haji.
- Berbuat Baik kepada Orang Lemah
Nabi saw telah menjelaskan bahwa Allah akan memberikan rizki dan pertolongan kepada hamba-Nya dengan sebab ihsan (berbuat baik) kepada orang-orang lemah, beliau bersabda, artinya,
“Tidaklah kalian semua diberi pertolongan dan diberikan rizki melainkan karena orang-orang lemah diantara kalian.” (HR. al-Bukhari)
Dhu”afa” (orang-orang lemah) klasifikasinya bermacam-macam, ada fuqara, yatim, miskin, orang sakit, orang asing, wanita yang terlantar, hamba sahaya dan lain sebagainya.
- Serius di dalam Beribadah
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiallaahu anhu, dari Nabi Shalallaahu alaihi wasalam bersabda, “Allah Subhannahu wa Ta”ala berfirman, artinya,
“Wahai Anak Adam Bersungguh-sungguhlah engkau beribadah kepada Ku, maka Aku akan memenuhi dadamu dengan kecukupan dan Aku menanggung kefakiranmu. Jika engkau tidak melakukan itu maka Aku akan memenuhi dadamu dengan kesibukan dan Aku tidak menanggung kefakiranmu.”
Tekun beribadah bukan berarti siang malam duduk di dalam masjid serta tidak bekerja, namun yang dimaksudkan adalah menghadirkan hati dan raga dalam beribadah, tunduk dan khusyu” hanya kepada Allah, merasa sedang menghadap Pencipta dan Penguasanya, yakin sepenuhnya bahwa dirinya sedang bermunajat, mengadu kepada Dzat Yang menguasai Langit dan Bumi.
Dan masih banyak lagi pintu-pintu rizki yang lain, seperti hijrah, jihad, bersyukur, menikah, bersandar kepada Allah, meninggalkan kemaksiatan, istiqamah serta melakukan ketaatan, yang tidak dapat di sampaikan secara lebih rinci dalam lembar yang terbatas ini. Mudah-mudahan Allah memberi kan taufik dan bimbingan kepada kita semua. Amin.
Al-Sofwah( Sumber: Kutaib “Al Asbab al Jalibah lir Rizqi”, al-qism al-ilmi Darul Wathan. )



Sumber : http://ceritateladan.com/2011/12/sebab-sebab-turunnya-rizki/
READ MORE - Sebab-Sebab Turunnya Rizki
 
davitblog awaspinter topkabar awasgila